
Pangkalpinang, 26 November 2025 – Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Pangkalpinang menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema Penahanan dan Penempatan Anak yang Berhadapan dengan Hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), Rabu (26/11). Kegiatan berlangsung di Ruang Serbaguna LPKA sejak pukul 08.00 WIB dengan partisipasi berbagai instansi penegak hukum serta perangkat daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Kegiatan FGD menghadirkan narasumber utama Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (UBB), Prof. Dr. Dwi Haryadi, SH, MH. Paparan disampaikan terkait urgensi penerapan SPPA secara menyeluruh serta perlunya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.
Kepala LPKA Pangkalpinang, Ismet Sitorus, dalam sambutannya mengungkapkan adanya temuan terkait keberadaan tahanan anak di LPKA. Menurutnya, kondisi ini bertentangan dengan ketentuan SPPA yang menegaskan bahwa penahanan harus menjadi upaya terakhir dan tetap menjunjung hak-hak anak.
“Permasalahan ini menunjukkan masih adanya praktik penahanan sebagai opsi utama, pelanggaran syarat penahanan, serta kondisi fasilitas yang belum sepenuhnya memenuhi standar perlindungan anak,” ujar Ismet.
Mewakili Kakanwil Ditjen Pemasyarakatan Babel, Kabid Pembinaan Dian Hartanto menegaskan bahwa penempatan tahanan anak terjadi karena Provinsi Bangka Belitung belum memiliki fasilitas seperti Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
“UU SPPA mengamanatkan diversi sebagai prinsip utama dalam penanganan perkara anak. Penahanan harus menjadi langkah terakhir. Ketidaktersediaan LPAS dan LPKS merupakan faktor utama yang harus segera dicarikan solusinya,” jelasnya.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kepulauan Bangka Belitung, Johan Manurung, memberikan apresiasi atas pelaksanaan FGD ini dan menekankan pentingnya kolaborasi antarlembaga dalam penyelesaian persoalan penahanan anak.
“Isu penahanan anak bukan hanya persoalan administratif, tetapi menyangkut masa depan mereka. Pelaksanaan SPPA harus benar-benar menjamin prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Karena itu, dibutuhkan komitmen bersama dari aparat penegak hukum hingga pemerintah daerah untuk memastikan fasilitas seperti LPAS dan LPKS tersedia dan berfungsi optimal,” ujar Johan.
Ia juga menegaskan bahwa Kanwil Kemenkum Babel siap mendorong langkah kolaboratif lintas sektor.
“Kanwil akan mengawal langkah-langkah tindak lanjut dari FGD ini, termasuk upaya percepatan penyediaan fasilitas dan penyusunan kerja sama antarlembaga. Penyelesaian masalah ini membutuhkan sinergi dan bukan bisa diselesaikan oleh satu institusi saja,” tambahnya.
FGD berlangsung dinamis dengan diskusi hangat yang dipandu oleh Penyuluh Hukum Ahli Muda Kanwil Kemenkum Babel, Sudihastuti, dan hadir pada kesempatan ini Sofian mewakili Kepala Kantor Wilayah. Berbagai solusi disampaikan peserta, mulai dari perbaikan prosedur penahanan hingga standar fasilitas penempatan anak.
Diskusi menilai bahwa implementasi SPPA di Bangka Belitung masih menghadapi tantangan serius, terutama dalam mengubah pendekatan penegakan hukum dari punitif menjadi restoratif serta menjadikan kepentingan terbaik anak sebagai orientasi utama.
Di akhir kegiatan, seluruh peserta sepakat pentingnya penyusunan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antarinstansi guna memenuhi fasilitas LPAS dan LPKS di Bangka Belitung. Selain itu, dukungan Pemerintah Daerah dinilai menjadi elemen krusial untuk memastikan implementasi UU SPPA berjalan sesuai amanat undang-undang.
KANWIL KEMENKUM BABEL



