
Pangkalpinang – Komitmen memperkuat potensi kerajinan tangan berbasis kearifan lokal terus digaungkan Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kepulauan Bangka Belitung. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kepulauan Bangka Belitung, Johan Manurung, bersama jajaran Bidang Pelayanan Kekayaan Intelektual, mengikuti Webinar OKE KI bertajuk “Dari Tangan Pengrajin untuk Dunia: Indikasi Geografis sebagai Penguat Daya Saing Kerajinan Indonesia”, secara virtual pada Kamis (31/07/2025).
Webinar yang digelar oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) ini menjadi forum penting untuk mendorong peningkatan jumlah kerajinan lokal yang memperoleh perlindungan Indikasi Geografis (IG). Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, diantaranya:
1. Dirjen Kekayaan Intelektual, Razilu;
2. Direktur Merek dan Indikasi Geografis, Hermansyah Siregar;
3. Sekjen Dewan Kerajinan Nasional, Reni Yanita;
4. Ketua Dewan Pakar Yayasan Batik Indonesia, Komarudin Kudiya;
5. Ketua MPIG Perak Celuk Bali, I Made Megayasa.
Dalam sambutannya, Dirjen Kekayaan Intelektual Razilu mengungkapkan bahwa selama tahun 2025 terdapat 188 Indikasi Geografis terdaftar, dengan hanya 35 yang berasal dari sektor kerajinan. Pemanfaatan Indikasi Geografis kerajinan tangan di Indonesia masih jauh dari optimal, jika dibandingkan dengan India yang hampir 50% produk Indikasi Geografisnya merupakan kerajinan tangan. “Ini menunjukkan potensi yang besar tapi belum tergarap maksimal. Kita perlu strategi kolektif lintas lembaga untuk mengangkat sektor ini,” tegasnya.
Senada dengan itu, Sekjen Dewan Kerajinan Nasional, Reni Yanita, menekankan pentingnya kekuatan branding, kemasan, dan desain produk agar dapat bersaing di pasar dunia. Namun, ia juga menyoroti tantangan di era digital seperti produk massal yang menggerus nilai eksklusivitas, rendahnya minat mendaftarkan IndiGeo, serta krisis regenerasi pengrajin.
Sementara itu, Direktur Merek dan Indikasi Geografis DJKI, Hermansyah Siregar, memaparkan bahwa IndiGeo bukan sekadar label, melainkan jaminan perlindungan hukum, peningkatan nilai ekonomi, dan pelestarian budaya lokal. Ia juga menekankan pentingnya peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan pelanggaran terhadap IndiGeo, karena pelanggarannya bersifat delik aduan.
Menambah perspektif dari lapangan, Komarudin Kudiya dari Yayasan Batik Indonesia menyampaikan bahwa Kelompok Masyarakat Penggiat IndiGeo (KMPIG) menjadi kunci utama pengembangan IndiGeo. Namun, masih banyak kelompok yang menghadapi tantangan seperti lemahnya manajemen, kurang kompak, serta belum bisa memanfaatkan sertifikat IndiGeo secara optimal.
Kisah inspiratif datang dari I Made Megayasa, Ketua MPIG Perak Celuk Bali, yang menceritakan bagaimana kerajinan perak asal Bali mampu bertransformasi dari simbol budaya menjadi identitas global lewat IndiGeo.
Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kementerian Hukum Kepulauan Banga Belitung menyampaikan bahwa kolaborasi antar-instansi menjadi hal yang dibutuhkan bagi keberhasilan Indikasi Geografis I di pasar ekspor. “Kolaborasi dengan pemerintah, komunitas, dan pelaku usaha menjadi elemen penting memperkuat ekosistem IndiGeo di Indonesia,” ujarnya.
Kakanwil Kemenkum Bangka Belitung, Johan Manurung, menyatakan bahwa webinar ini menjadi penguat semangat bagi Kanwil dalam mendorong produk kerajinan khas Babel untuk dapat menembus pasar nasional dan internasional melalui perlindungan Indikasi Geografis.
“Kami siap mendampingi masyarakat, kelompok pengrajin, dan pemerintah daerah dalam proses pendaftaran IndiGeo. Ini bukan hanya soal perlindungan hukum, tapi juga pengakuan atas identitas budaya dan nilai ekonomi lokal,” ujarnya seusai webinar.
Dengan sinergi antar pemangku kepentingan, Bangka Belitung diharapkan bisa melahirkan lebih banyak produk unggulan berlabel IG yang mampu bersaing secara global tanpa kehilangan akar budayanya.
KANWIL KEMENKUM BABEL




