
Pangkalpinang, 21 Oktober 2025 — Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kepulauan Bangka Belitung (Kanwil Kemenkum Babel) mengikuti secara daring kegiatan Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyesuaian Pidana yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum Republik Indonesia. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian pembahasan strategis nasional dalam rangka menyiapkan implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
Kegiatan dimulai pukul 09.30 WIB melalui Zoom Meeting, diikuti oleh Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej; Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Dhahana Putra; Plt. Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Hendra Kurnia; Kepala Divisi Hukum Kepolisian RI, Viktor Theodorus Sihombing; Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung, H. Yanto; Plt. Wakil Jaksa Agung, Asep N. Mulyana; Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, I Gede Widhiana S; serta para Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Divisi Peraturan Perundang-undangan se-Indonesia. Dari Kanwil Kemenkum Babel, kegiatan ini diikuti langsung oleh Kepala Kantor Wilayah, Johan Manurung, didampingi Kepala Divisi Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum, Rahmat Feri Pontoh, serta JFT Perancang Peraturan Perundang-undangan.
Dalam paparannya, Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan bahwa penyusunan RUU Penyesuaian Pidana merupakan amanat Pasal 613 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, yang mengatur perlunya penyesuaian ketentuan pidana di luar KUHP maupun dalam peraturan daerah agar sejalan dengan sistem pemidanaan baru. Substansi RUU ini terbagi dalam tiga pokok utama, yaitu: penyesuaian pidana dalam undang-undang di luar KUHP dengan penghapusan pidana minimum khusus serta konversi pidana kurungan menjadi denda; penyesuaian pidana dalam peraturan daerah dengan penghapusan sanksi pidana kurungan; dan koreksi terhadap sejumlah ketentuan krusial dalam UU KUHP, termasuk pengaturan masa percobaan pidana mati serta konsistensi unsur delik. RUU ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi sinkronisasi dan harmonisasi sistem pemidanaan nasional di bawah rezim hukum pidana baru.
Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung, H. Yanto, menegaskan bahwa RUU ini tidak hanya bersifat teknis penyesuaian, tetapi juga merefleksikan perubahan paradigma dalam hukum pidana Indonesia. Menurutnya, sistem pemidanaan baru ini berupaya menyeimbangkan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Dengan dihapusnya pidana minimum khusus dan diperkenalkannya sistem denda bertingkat, negara berupaya menghadirkan keadilan yang lebih proporsional serta adaptif terhadap konteks sosial dan ekonomi.
Sementara itu, Plt. Wakil Jaksa Agung, Asep N. Mulyana, menyampaikan bahwa RUU Penyesuaian Pidana menjadi instrumen penting untuk menyeragamkan ketentuan pidana di seluruh undang-undang dan peraturan daerah. RUU ini memperkenalkan sistem kategorisasi denda (Kategori I–VIII) yang memudahkan penyesuaian nilai pidana terhadap perubahan ekonomi nasional. Beliau juga menegaskan pentingnya mengedepankan prinsip pemidanaan yang berorientasi pada pencegahan, rehabilitasi sosial, dan pemulihan akibat tindak pidana, bukan semata pembalasan. “Reformasi hukum pidana ini menggeser paradigma dari penghukuman ke pemulihan sosial,” tegas Asep.
Dari perspektif penegakan hukum, Kepala Divisi Hukum Kepolisian RI, Viktor Theodorus Sihombing, yang diwakili oleh Kepala Bagian Sunkum Rosundokinfokum Divkum Polri, Toni Binsar, menyoroti bahwa penerapan RUU Penyesuaian Pidana akan berdampak langsung terhadap praktik penyidikan di lapangan. Dengan adanya penghapusan pidana minimum khusus dan penggantian pidana kurungan menjadi denda, maka pola penegakan hukum perlu disesuaikan dengan pendekatan yang lebih proporsional. Ia juga menekankan pentingnya sosialisasi masif agar aparat penegak hukum memahami perubahan ini secara seragam untuk menghindari perbedaan interpretasi di lapangan.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, I Gede Widhiana S, memberikan catatan akademik penting. Ia menyoroti bahwa dalam penyusunan RUU Penyesuaian Pidana, perumus harus berhati-hati agar tidak terjadi kekeliruan teknis maupun substansi, terutama dalam pengaturan pengecualian pidana tertentu dan formulasi norma pidana alternatif “dan/atau”. Menurutnya, isu yang paling krusial adalah pengaturan pidana mati dalam Pasal 100 KUHP yang ditegaskan sebagai pidana bersyarat dengan masa percobaan 10 tahun, yang menunjukkan arah politik hukum nasional menuju pendekatan yang lebih humanis.
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi interaktif yang diikuti antusias oleh peserta dari seluruh Indonesia. Para perancang peraturan perundang-undangan daerah, akademisi, dan praktisi hukum saling bertukar pandangan mengenai tantangan implementasi RUU Penyesuaian Pidana, termasuk kesiapan sistem hukum di daerah untuk beradaptasi dengan KUHP baru. Kegiatan ditutup oleh Plt. Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Hendra Kurnia, yang menegaskan pentingnya sinergi antar pemangku kepentingan dalam memastikan efektivitas penerapan RUU ini di lapangan.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkum Babel, Johan Manurung, menyampaikan bahwa keterlibatan Kanwil dalam kegiatan ini merupakan bentuk komitmen untuk terus memperkuat pemahaman terhadap dinamika perubahan regulasi nasional. “Kami berperan aktif dalam memastikan harmonisasi peraturan di tingkat daerah agar selaras dengan kebijakan hukum nasional. Uji publik ini memberikan perspektif baru dalam merancang kebijakan hukum yang adaptif dan responsif terhadap tantangan zaman,” ujar Johan.
Kegiatan Uji Publik RUU Penyesuaian Pidana ini menegaskan komitmen pemerintah dalam mewujudkan sistem hukum pidana yang modern, berkeadilan, dan berorientasi pada kemanusiaan. Kanwil Kemenkum Babel siap mendukung penuh pelaksanaan harmonisasi dan penyelarasan kebijakan di wilayahnya, sebagai bagian dari upaya nasional menuju sistem pemidanaan yang lebih efektif, efisien, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
KANWIL KEMENKUM BABEL

