
Pangkalpinang – Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kepulauan Bangka Belitung (Kanwil Kemenkum Babel) mengikuti kegiatan Diskusi Strategi Kebijakan yang diselenggarakan oleh Kanwil Kemenkum Bali dengan topik “Analisis dan Evaluasi Dampak Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 20 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pengenaan Tarif Tertentu pada Pelayanan Paten dan Hak Cipta” pada Senin, 27 Oktober 2025. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid (luring dan daring) mulai pukul 08.00 hingga 12.00 WIB.
Kegiatan dibuka dengan laporan oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenkum Bali, Eem Nurmanah, yang menjelaskan bahwa diskusi ini menjadi sarana penting untuk menelaah kembali efektivitas kebijakan tarif tertentu pada layanan Kekayaan Intelektual (KI), khususnya paten dan hak cipta. Kegiatan menghadirkan berbagai narasumber dan peserta dari unsur pusat dan daerah, antara lain Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum (BSK Hukum) Andry Indrady, para Kepala Kantor Wilayah Kemenkum se-Indonesia, perwakilan instansi penegak hukum di Bali, serta akademisi dari Universitas Udayana.
Dalam arahannya, Kepala BSK Hukum Andry Indrady menegaskan bahwa analisis dan evaluasi ini bertujuan untuk menilai efektivitas penerapan kebijakan tarif layanan kekayaan intelektual dalam mendukung kemudahan akses, transparansi biaya, serta peningkatan kualitas layanan publik. Melalui kegiatan ini, BSK Hukum ingin mengidentifikasi berbagai kendala dalam pelaksanaan kebijakan, termasuk kesesuaian tarif dengan kondisi pelaku usaha serta tingkat pemanfaatan layanan di daerah. “Hasil evaluasi ini akan menjadi bahan rekomendasi perbaikan kebijakan agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan dunia usaha,” ujar Andry.
Selanjutnya, dalam paparan yang disampaikan oleh Direktur Paten, DTLST & Rahasia Dagang DJKI, Sri Lastami, dijelaskan bahwa Permenkumham Nomor 20 Tahun 2020 merupakan instrumen penting untuk memperluas akses perlindungan kekayaan intelektual, terutama bagi kelompok yang memiliki keterbatasan finansial seperti Usaha Mikro dan Kecil, Lembaga Pendidikan, serta Lembaga Penelitian Pemerintah. Namun hasil kajian normatif menunjukkan masih terdapat ketidakjelasan norma dalam pasal-pasal tertentu—khususnya frasa “dalam keadaan tertentu” dan “dalam hal tertentu”—yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, reformulasi kebijakan dianggap perlu agar dapat mewujudkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi seluruh pihak.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Ni Ketut Supasti, menyoroti hasil implementasi kebijakan di Provinsi Bali yang menunjukkan bahwa pendaftaran hak cipta lebih dominan dibandingkan paten. Hal ini disebabkan karena karya masyarakat Bali cenderung berbasis seni dan budaya yang otomatis dilindungi melalui mekanisme hak cipta, sedangkan invensi teknologi yang dapat dipatenkan masih relatif sedikit. Faktor sosio-kultural, minimnya literasi hukum, dan keterbatasan pendampingan administratif menjadi kendala utama dalam peningkatan pendaftaran paten. Ia menilai perlunya strategi komunikasi hukum yang lebih intensif agar kebijakan tarif 10% dan 0% bagi kelompok tertentu dapat dimanfaatkan secara optimal.
Dalam sesi berikutnya, Direktur Teknologi Informasi DJKI, Ika Ahyani Kurniawati, menjelaskan pentingnya transformasi digital dalam meningkatkan efisiensi dan transparansi layanan kekayaan intelektual. Inovasi seperti e-Seal, sistem otomatisasi, dan penggunaan kecerdasan artifisial telah mempercepat proses pendaftaran serta memperkuat validitas dokumen. “Digitalisasi bukan sekadar modernisasi, tetapi bagian dari reformasi layanan publik yang memastikan keaslian, keamanan, dan kemudahan akses bagi masyarakat,” ujarnya.
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab interaktif yang diikuti secara antusias oleh peserta dari seluruh Indonesia, baik yang hadir secara luring di Bali maupun daring dari berbagai wilayah. Diskusi menyoroti berbagai aspek praktis implementasi kebijakan, tantangan koordinasi antarinstansi, serta usulan penyempurnaan regulasi berbasis hasil kajian lapangan.
Kanwil Kemenkum Babel sendiri turut hadir secara daring yang diwakili oleh Kepala Kantor Wilayah Johan Manurung, Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kaswo, Kepala Divisi P3H Rahmat Feri Pontoh, serta jajaran pejabat dan fungsional dari Bidang Strategi Kebijakan. Kehadiran tim ini mencerminkan dukungan penuh Kanwil Kemenkum Babel terhadap upaya nasional dalam memperkuat kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) di bidang kekayaan intelektual.
Kegiatan ditutup oleh moderator Putu Aras Samsithawrati dari Universitas Udayana dengan kesimpulan bahwa hasil diskusi akan menjadi masukan berharga bagi BSK Hukum dalam menyempurnakan kebijakan terkait penerapan tarif layanan KI yang adil, inklusif, dan berorientasi pelayanan publik.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkum Babel, Johan Manurung, menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan ini. Ia menegaskan pentingnya kolaborasi antarkanwil dan unit pusat dalam memperkuat kebijakan yang berorientasi pada pelayanan publik. “Diskusi strategis seperti ini menjadi wadah untuk memastikan setiap regulasi yang lahir benar-benar memiliki dampak nyata bagi masyarakat dan pelaku usaha. Kemenkum harus hadir tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator yang mendukung inovasi dan perlindungan hukum yang adil,” ujarnya.
Dengan keikutsertaan dalam kegiatan ini, Kanwil Kemenkum Babel menunjukkan komitmennya untuk terus berperan aktif dalam mendukung penyusunan dan penyempurnaan kebijakan hukum nasional yang berdampak langsung pada masyarakat.
KANWIL KEMENKUM BABEL


