
Pangkalpinang – Kantor Wilayah Kementerian Hukum Kepulauan Bangka Belitung (Kemenkum Babel) mengikuti kegiatan Training Regulatory Impact Assessment (RIA) yang dilaksanakan secara hybrid pada Senin, 10 November 2025. Pelatihan ini merupakan bagian dari kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Inggris melalui British Embassy, dengan tujuan memperkuat kapasitas aparatur sipil negara dalam penerapan Good Regulatory Practices (GRP) menuju peningkatan tata kelola regulasi nasional yang transparan, efektif, dan berbasis bukti (evidence-based policy making).
Kegiatan tersebut dihadiri oleh para pejabat tinggi dari berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Hidayat Arsani, para kepala biro hukum kementerian seperti KKP, Kemenkeu, Kemenko Perekonomian, Kemendagri, BKPM, dan instansi vertikal lainnya. Dari Kanwil Kemenkum Babel, kehadiran diwakili oleh Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM, Rahmat Feri Pontoh, beserta jajaran Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-undangan, Analis Hukum, dan Analis Kebijakan.
Pelatihan dibuka oleh Zoe Dayan, Head of Regulatory Reform Attaché UK Mission to ASEAN, yang menekankan pentingnya penerapan RIA sebagai fondasi untuk memperkuat kualitas kebijakan publik di Indonesia. Dalam sambutannya, Zoe menyampaikan bahwa RIA menjadi alat analitis penting yang membantu pemerintah memahami akar masalah secara mendalam, menilai berbagai opsi kebijakan secara objektif, dan memastikan bahwa setiap regulasi yang dibentuk memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat serta dunia usaha.
“Regulatory Impact Assessment bukan sekadar prosedur administratif, melainkan kerangka analisis berbasis bukti yang membantu pemerintah menghasilkan kebijakan yang proporsional, efisien, dan berkelanjutan,” ujar Zoe Dayan. Ia menambahkan bahwa penerapan RIA yang konsisten akan sangat mendukung kesiapan Indonesia dalam proses aksesi menuju keanggotaan OECD.
Selanjutnya, Direktur Perencanaan Peraturan Perundang-undangan, Aisyah Lailiyah, dalam sambutannya menyoroti pentingnya peningkatan kualitas tata kelola regulasi nasional. Ia menjelaskan bahwa RIA merupakan bagian dari upaya besar reformasi regulasi yang bertujuan menekan tumpang tindih aturan, mencegah beban administratif yang berlebihan, serta memastikan kebijakan yang diterbitkan berdampak nyata bagi masyarakat.
“RIA adalah instrumen yang membantu pembuat kebijakan untuk berpikir secara sistematis—mulai dari identifikasi masalah, analisis akar penyebab, hingga penentuan solusi terbaik. Melalui praktik ini, kita ingin mendorong budaya kebijakan publik yang lebih rasional, partisipatif, dan akuntabel,” jelas Aisyah.
Dalam sesi utama, para pemateri yang terdiri dari Rachel Holloway (British Embassy), Aisyah Lailiyah, dan Rival (Local Expert) memaparkan mekanisme pelaksanaan RIA yang meliputi enam tahapan utama: identifikasi masalah, penetapan tujuan, pengembangan alternatif kebijakan, analisis manfaat dan biaya (cost-benefit analysis), konsultasi publik, dan penyusunan dokumen Regulatory Impact Assessment Statement (RIAS). Melalui pendekatan ini, diharapkan setiap regulasi yang dihasilkan mampu menjawab kebutuhan nyata masyarakat dengan mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Sebagai bagian dari praktik pembelajaran, peserta pelatihan diajak untuk menganalisis kasus pencemaran sungai di Desa Gempol Sari, Kabupaten Sidoarjo menggunakan metode problem tree analysis. Kasus ini menggambarkan interaksi antara faktor penyebab seperti pembuangan limbah industri, rendahnya kesadaran masyarakat, serta dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Melalui analisis mendalam ini, peserta dilatih untuk mengidentifikasi akar masalah, memetakan hubungan sebab-akibat, dan merumuskan opsi kebijakan yang tepat guna.
Kegiatan pelatihan juga menyoroti pentingnya Good Regulatory Practices (GRP) sebagai prinsip utama dalam reformasi regulasi. GRP menekankan kejelasan tujuan kebijakan, konsistensi antar-regulasi, transparansi proses pembentukan, serta keterlibatan aktif pemangku kepentingan. Prinsip ini menjadi pedoman bagi Indonesia untuk mengadaptasi praktik internasional dalam konteks nasional, guna memastikan setiap kebijakan yang dibentuk sejalan dengan arah pembangunan berkelanjutan dan inklusif.
Dari sisi manfaat strategis, penerapan RIA di Indonesia dinilai sangat penting untuk mendukung kebijakan pembangunan yang lebih efektif dan efisien. Dengan RIA, proses pembentukan regulasi tidak hanya menekankan kecepatan, tetapi juga kualitas dan keberlanjutan dampak. Regulasi yang lahir dari analisis mendalam akan lebih mudah diterapkan, diterima oleh masyarakat, serta memberikan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial.
Di akhir kegiatan, Moderator menutup sesi dengan menegaskan bahwa pelatihan ini menjadi langkah awal penting dalam menumbuhkan budaya analisis kebijakan berbasis data di kalangan ASN. Diharapkan seluruh peserta, termasuk perwakilan dari Kanwil Kemenkum Babel, dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip RIA dalam setiap proses harmonisasi, pembentukan, dan evaluasi peraturan perundang-undangan di daerah.
Menanggapi kegiatan tersebut, Kepala Kantor Wilayah Kemenkum Babel, Johan Manurung, menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap penguatan kapasitas ASN di bidang reformasi regulasi.
“Kita perlu memastikan bahwa setiap kebijakan dan regulasi yang dihasilkan benar-benar efektif, berdampak nyata bagi masyarakat, dan sejalan dengan semangat reformasi hukum nasional. Pelatihan seperti ini menjadi sarana penting bagi Kanwil untuk terus beradaptasi dengan praktik internasional dalam mewujudkan tata kelola hukum yang baik,” ujarnya.
Dengan semangat kolaborasi dan pembelajaran berkelanjutan, Kanwil Kemenkum Babel berkomitmen untuk terus berperan aktif dalam mendukung agenda nasional reformasi regulasi, memperkuat kualitas peraturan perundang-undangan, serta memastikan setiap kebijakan publik berorientasi pada manfaat masyarakat luas dan keberlanjutan pembangunan.


